Popular Posts

Mengampuni - Melupakan

MENGAPA ”mengampuni” itu sulit? Bahkan sering lebih sulit ketimbang yang seharusnya? Salah satu sebab utamanya adalah, karena orang sering merancukan antara ”mengampuni” dan ”melupakan”. ”To forgive” dan ”to forget”.

Ada yang dengan tegas mengatakan, ”Pokoknya, saya tidak bisa dan tidak akan mengampuni orang itu! Titik”. Padahal bila kita usut lebih lanjut, yang sebenarnya ia maksudkan adalah, ”Saya tidak bisa dan tidak akan melupakan perbuatannya yang keji itu!”

Benarkah ”mengampuni” harus berarti ”melupakan”? Bila benar, pantaslah orang mengatakan bahwa ”pengampunan” itu mustahil. Sebab bagaimana mungkin bisa melupakan penghinaan, penganiayaan, penindasan, pengkhianatan, yang pernah kita alami? Bukankah ”luka di kulit akan mengering, tapi luka di hati dibawa mati”?

Shriver mengatakan, ”Tidak!”. Justru sebaliknyalah yang benar! Yaitu: ”INGAT DAN AMPUNI!”. ”Remember and forgive”.

Pengampunan sejati harus berawal dari ingatan yang jelas akan getirnya rasa kecewa, akan pedihnya dikhianati, akan perihnya dibohongi berkali-kali, dan akan sakitnya diinjak-injak hak-hak kita yang paling asasi.

Getir, pedih, perih, dan sakit! Ya! Itu tak akan saya lupakan! Tak perlu saya lupakan, dan memang tak mungkin! Namun demikian, saya toh bersedia mengampuninya!


Di tengah penderitaan jasmaniah dan batiniah-Nya yang luar biasa di atas kayu salib, Yesus pernah menolak minuman yang sebenarnya akan dapat sedikit menjadi penawar rasa sakitnya.

Dengan itu, Ia menunjukkan, betapa Ia mau dengan sadar merasakan penderitaan-Nya detik demi detik. Ia mau mendengar rintihan-Nya sendiri saat demi saat. Dan doa-Nya, ”Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Itulah sakitnya ”mengampuni”! Ingat, namun mau mengampuni!

BILA Anda, seperti banyak orang lain, berkata, ”Wah, enak benar dong, kalau begitu! Terus saja lakukan kejahatan sebanyak-banyaknya, toh diampuni juga!”, maka respon saya adalah ini. Bahwa dalam urusan ”ampun-mengampuni”, apa boleh buat, Anda tidak punya pilihan.

Suka atau tidak suka, yang mesti Anda ampuni memang selalu adalah orang-orang salah, orang-orang jahat, dan orang-orang ”brengsek”. Orang-orang yang telah menyakiti dan merugikan Anda.

Tentu saja! Sebab ”orang baik-baik” tidak perlu diampuni, bukan? Sebab itu, betapa pun sulitnya, pengampunan—tidak dapat lain—harus dan hanya dapat dilakukan oleh si ”korban kejahatan” terhadap si ”pelaku kejahatan”. Bukan sebaliknya!

Ini tidak berarti bahwa si ”pelaku kejahatan” – orang-orang yang menyakiti Anda itu – lalu bebas, tidak mempunyai kewajiban moral apa-apa. Sebab bila begitu, maka Anda benar lagi bila mengatakan, ”Wah, enak benar dong kalau begitu!”. Tidak! Yang benar adalah: Anda punya kewajiban, ia pun punya kewajiban.

Tapi apakah ia melaksanakan kewajibannya atau tidak, itu tak ada pengaruhnya terhadap kewajiban Anda. Kewajiban Anda tetap, yaitu sebagai ”korban kejahatan” Anda mesti mengampuni. Ini tidak bisa ditawar-tawar atau ditunda-tunda.

Si ”pelaku kejahatan” pun punya kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar atau ditunda-tunda, yaitu apa? Bertobat! Ia mesti berhenti melakukan kejahatan, dan berbalik melakukan kebenaran. Jadi, kewajiban Anda adalah mengampuni, dan kewajibannya adalah bertobat.

Tapi, ingat, apakah ia bertobat atau tidak bertobat, Anda harus mengampuni. Hanya saja, bila ia lebih memilih mengeraskan hati, maka ”pengampunan” yang Anda berikan kepadanya itu ya jadi mubazir. Ibarat orang telah menyodorkan hadiah yang amat berharga, eee yang diberi hadiah enggan mengulurkan tangan menyambutnya. Sayang sekali! Tapi ini adalah urusan yang bersangkutan.


YANG mesti dicatat juga adalah, bahwa pengampunan tidak berarti melepaskan seseorang dari hukuman akibat kejahatan yang dilakukannya. Sebab kalau semua orang jahat dibebaskan begitu saja, maka benar lagi yang Anda katakan, ”Wah, enak benar dong kalau begitu!”.
Tidak! Tulis Donald Shriver, Jr., ”(Pengampunan) tidak berarti dihapuskannya hukuman atas si pelaku kejahatan, melainkan dihapuskannya segala bentuk dendam”. Bila Soeharto dan keluarganya, atau siapa pun juga, bersalah dan pantas dihukum, maka mereka harus dihukum. Tapi tidak karena dendam. Tidak dengan dendam. Melainkan semata-mata demi hukum, kebenaran dan keadilan!

Lalu terhadap mereka yang mengatakan, ”Saya tidak bersedia mengampuni dia, karena saya tidak ingin berhubungan atau menjadi sahabatnya lagi seperti dulu”, saya mengatakan, ”Tentu adalah hak Anda sepenuhnya untuk memilih siapa yang Anda mau jadikan sahabat.


Hak Anda pula sepenuhnya, untuk menjalin relasi atau tidak menjalin relasi dengan siapa pun juga. Namun baiklah Anda ketahui, Anda tidak harus menyukai seseorang terlebih dahulu, baru Anda bisa mengampuni. Atau harus bersimpati kepada seseorang terlebih dahulu, baru mau menjalin relasi”.

Betul begitu, bukan? Anda toh tidak mungkin mengajukan syarat, hanya mau tinggal di satu tempat, bila semua tetangga adalah orang-orang yang Anda sukai. Atau hanya bersedia menandatangani kontrak dagang, dengan orang-orang yang Anda senangi.


PERSOALANNYA sekarang, upaya apa yang perlu dan dapat kita usahakan, agar pengampunan yang sudah sulit itu, tidak semakin sulit? Shriver menganjurkan dua hal. Yang pertama adalah, Anda harus mengatasi ”kenangan pahit masa lalu”.

Pengampunan menjadi sulit bila, seperti kata dramawan William Faulkner, ”Masa lalu tidak mati dan tidak pula pergi. Ia bahkan tidak pernah lalu”. Masa lalu menjadi seperti luka lama yang terus kita korek-korek, sehingga jadi luka baru.

Tak perlu ditutup-tutupi, masa lalu memang banyak membekaskan kenangan yang menyakitkan. Ini lebih baik kita hadapi, demi masa depan. Di antara keberanian mengubur masa silam dan keterbukaan menapak ke masa depan, adalah pengampunan.

Yang kedua yang perlu dan bisa kita lakukan, menurut Shriver, adalah menumbuhkan perasaan empati (bukan simpati!) terhadap orang yang pernah menyakiti kita; orang yang keburu membekaskan ”cap” buruk di benak kita.

Empati artinya, kita tidak melupakan perbuatannya atau membenarkan kesalahannya. Tapi kita berusaha mengenalnya lebih baik dan lebih lengkap.
Mencoba melihat dari sudut pandangnya. Berusaha berdiri di tempat ia berdiri.
Bila ini kita lakukan, kesakitan dan amarah memang tak akan hilang serta merta. Tapi kita akan bisa lebih memahaminya, dan karena itu lebih mungkin mengampuninya.

Dapat kita bayangkan, betapa berbedanya pasti suasana di negeri kita, sekiranya semua pihak bersedia saling minta ampun dan mau saling memberi ampun. Kutukan dari mimbar agama pasti tak akan terdengar. Bom tak akan meledak. Kita berkesempatan menjahit kembali baju ke”Indonesia”an kita yang koyak-koyak. Bersama-sama.

Sayangnya, yang terjadi sampai sekarang adalah, kita mengadili berdasar praduga, menghukum berdasar rasa curiga, menilai berdasar intuisi. Saudara sendiri kita pandang sebagai ancaman.

Dan perbedaan kita perlakukan sebagai kejahatan. Kesalahan orang lain kita eksploitasi habis-habisan, sementara kesalahan sendiri terlalu gampang kita maafkan. Ampunilah kami, Bapa, seperti kami mengampuni!

GKT News