Popular Posts

Mengapa Engkau Meninggalkan Aku? Matius 27: 46

Banyak orang tertarik melihat bagaimana akhir hidup dari seseorang apakah ada kata-kata, pesan dan kesan bagi mereka yg ditinggalkan. Dalam perlawanannya melawan Kaisar, Cato Marcus Portius sebelum ia bunuh diri meninggalkan ucapan:“Segala kebaikan yg telah kuperbuat terhadap sesama manusia dalam hidup, bagiku merupakan penghiburan dalam kematian ini.”

Martin Luther pada malam hari tgl 8 Februari 1546 di Eisleben, Jerman tulisannya di atas selembar kertas berbunyi:“Kita ini sesungguhnya pengemis-pengemis “ – Seorang Bishop dari Rusia berkata kepada mereka yg akan membunuhnya:”Hiduplah mereka yang mati, aku pergi kepada orang-orang yang hidup!” – Perkataan akhir dari manusia merupakan peringatan bagi kita yg masih hidup, tetapi perkataan Tuhan Yesus kekal meneguhkan karya Allah dalam kehidupan umat manusia. Salah satu dari ucapan akhir dari Yesus, Anak Allah yang menderita di atas kayu salib:”Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mt 27:46).

Secara wajar ungkapan ini dari salah satu sisi sbg suatu ketidakmengertian dan perasaan ketakutan, tetapi dari sisi lain perkataan ini menyatakan suatu keintiman dari relasi Yesus Kristus, Anak Manusia dengan Allah Bapa, hubungan yg tidak Ia inginkan terputus justru ditengah- tengah kesengsaraan-Nya. Beberapa penafsir berspekulasi mengartikan peristiwa, berpendapat bahwa Yesus “dalam tiga jam ini” mengalami waktu-waktu yg gelap, lemah dan putus asa, Yesus dalam kemanusiaan-Nya tidak mengerti mengapa Bapa-Nya mengijinkan Dia menderita sedemikian rupa. Tetapi pendapat yg spekulatif ini tidak mendapatkan dukungan referensi dari Kitab Suci .

Karya Penebusan Yang Digenapi

“Eli, Eli, lama sabakhtani?”
”Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku!” Suatu teriakan Anak Manusia, seorang Yang Benar menanggung beban yg begitu berat karena kejahatan dan pembrontakan umat manusia. Di atas kayu salib ini Yesus tidak lagi berteriak:”Bapa-Ku” sprt di Taman Getsemani, tetapi Ia hanya berteriak “Allah-Ku, Allah-Ku!” - Apakah Allah Bapa meninggalkan Anak- Nya? Kitab Suci secara menyeluruh mencatat bahwa Allah tidak pernah meninggalkan Anak-Nya, bandingkan Maz 22: 20.25 Yes 49:15; Ibrani 13:5-6:“Aku sekalil-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata: Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadapku?“ Ditengah- tengah penderitaan-Nya Yesus tahu bahwa perkataan dari Mazmur 22:1 sekarang digenapi melalui diri- Nya (Lk 22: 44-46; Yoh 19:23-24). Ia mengalami Allah sbg Hakim berpaling dari Sang Anak, pada saat Ia dijadikan yang terkutuk karena kita (Gal 3:13) dan untuk membenarkan orang-orang berdosa yang percaya kepada-Nya, walaupun Ia sendiri tidak berdosa (Roma 3:25-26). Yesus tahu maksud kedatangan- Nya, Ia harus meminum cawan pahit, menderita karena amarah Allah terhadap dosa umat manusia (Yoh 18:11). Yesus tahu Anak Manusia harus menderita (Mk 8:31-33) dan hidup-Nya sbg suatu korban tebusan bagi orang banyak (Mt 20:28). Yesus taat, ya taat sampai ke atas kayu salib Yesus (Filipi 2: 7-8).

Ia tahu pekerjaan yg Allah Bapa-Nya percayakan yg Ia harus tuntaskan (Yoh 5:36-39;19:30). Juga pada saat penderitaan-Nya ini Ia ingin terus-menerus bergantung kepada Allah Bapa. Hanya kepada Bapa-Nya, Ia mengadu dan rindu kehadiran-Nya meliputi diri-Nya.

Blaise Pascal (abad 17) pernah mengatakan:”Andaikan manusia tidak diciptakan untuk Allah mengapa ia hanya berbahagia di dalam Allah? Andaikan manusia tidak diciptakan untuk Allah, mengapa ia menentang Allah?” Umat manusia mengalami apa yg disebut kerinduan batiniah yg dalam akan Allah
yg Pascal beri nama sbg “suatu ruangan vakum yg Allah bentuk”, juga setelah manusia jatuh ke dalam
dosa – Kebergantungan manusia pada keberadaan Allah merupakan sesuatu yang mutlak, tetapi toh
paradoks yg terjadi pada manusia yg berdosa ini menentang kehadiran Allah.

Kehadiran Allah selalu nyata dan tidak bergantung kepada perasaan manusia yg mengalami atau tidak mengalami kehadiran- Nya (Maz 139: 1 dst). Salah satu teriakan terakhir yg singkat dari Yesus, Anak Allah ini justru merupakan ungkapan keintiman dengan Bapa-Nya. Karena relasi-Nya yg begitu dekat dengan Bapa-Nya (Yoh 5:30), Ia tidak mengijinkan sesaat pun kekosongan diri-Nya diisi oleh sesuatu yg lain, kecuali Allah sendiri.

Pertanyaan kita dalam hidup ini seringkali tidak berbeda pada saat kita merasa, Allah tidak hadir,
jauh dari kenyataan hidup yg tidak terlepas dari penderitaan. Mengapa Allah ijinkan ini terjadi? Mengapa becana alam menjadi keseharian kita? Bukankah Allah seharusnya tahu, bahwa manusia sudah cukup menderita? Ya mengapa saya, Tuhan? Daftar pertanyaan ini bisa kita lanjutkan tanpa terputus. Seringkali kita menyalahkan dan marah terhadap Allah yg harus bertanggung jawab untuk segala penderitaan dunia ini. Kitab Suci (sejauh penulis tahu) tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan „mengapa?“ dari seorang manusia kepada Allah. Jawaban satu-satu terhadap pertanyaan „mengapa“ adalah:„Allah Itu Kudus Adanya“ - karena Allah itu kudus adanya, artinya: Allah tidak harus memberikan
pertanggungjawaban untuk setiap perbuatan yang Ia lakukan atau tidak lakukan.

„Allah adalah Allah“ – Ia bukan manusia, oleh sebab itu manusia, setiap orang berdosa harus memberikan pertanggungjawabannya dengan apa yg ia lakukan dan tidak lakukan, tetapi hal ini tidaklah demikian dengan Allah. Ada momen-momen dalam hidup kita dimana kita tidak mengerti kehendak Allah, seolah- olah Allah membisu, tetapi bukan berarti Allah tidak berbicara. Pada saat Allah tidak menjawab doa kita, mungkin: Permintaan kita salah sehingga Allah mengatakan:“No“- „Tidak!“ - Mungkin waktunya belum tepat, sehingga Allah mengatakan:“Slow“ – „Bersabarlah!“ – Mungkin diri kita, relasi kita dengan Allah dan sesama belum beres, sehingga Allah mengatakan:“Grow“ „Bertumbuhlah!“ Tetapi jika permintaan itu benar, waktunya tepat dan relasi kita dng Allah benar, maka Allah akan mengatakan:“Go“ „Silakan, sesuai dengan apa yg kamu minta!“ (bdg Bill Hyble, 1998, Too Busy Not to Pray, hal 108-109).

Kehadiran Allah Yang Pasti

Perkataan ini didengar oleh orang-orang yang melewati dan berada di bawah kayu salib itu,
mereka memutar balikan perkataan ini dan mencemooh:”Ia memanggil Elia!” Pada saat Yesus mengalami penderitaan-Nya yg paling dalam, Ia begitu dekat dengan manusia, justru disanalah penghinaan yg paling Ia dirasakan.

Juga sampai di jaman modern ini, jika seorang besar jatuh, maka orang-orang kecil menjadi raja atasnya dan sampai melakukan kekerasan yg anarkis sifatnya. Nabi Elia dikenal oleh orang-orang Yahudi saat itu sebagai seorang yg mempersiapkan kedatangan Mesias. Inilah yg merangsang mereka untuk menghina-Nya, dapatkah Ia menjadi seorang Juruselamat dari umat manusia, Ia yg tidak dapat menyelamatkan diri-Nya? Jika Allah tidak melakukan apa-apa, mungkin Elia bisa melakukan sesuatu?

Kematian Yesus merupakan kematian yang tidak wajar. Seorang yg disalib ia menderita secara berangsur- angsur terkuras pernafasannya. Yesus dalam keadaan sbg seorang „Hamba” menderita, merasa tertolak, terputus dan ditinggalkan (Yes 53:3.8). Tetapi tetap Allah selalu hadir dalam kehidupan-Nya „sekalipun aku berjalan dalam lembah kematian, aku tidak takut bahaya gada-Mu dan tongkat-Mu menghibur aku“ (Maz 23: 4). Allah adalah Bapa sumber kemurahan dan Allah dari segala penghiburan (2 Kor 1:3).

Bahkan terbukti Allah dengan kuasa-Nya membangkitkan Anak-Nya dari kematian (Efesus 1:19-20; bdg
Mt 27:52-53). Yesus mengerti dan pernah mengalami apa artinya ditinggilkan, Ia setelah kebangkitan,
sebelum naik ke surga, menguatkan dan menjamin para murid-murid-Nya:“Ketahuilah, Aku menyertai
kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman“ (Mt 28:20).

Apa pun yang terjadi, Yesus menjanjikan kepada kita, para murid-murid-Nya untuk memberikan Roh Kudus, Penghibur, Pendamping dan damai sejahtera dalam hidup kita (Yoh 14:26-27). Perasaan terputus dari Allah perasaan yang menakutkan, walaupun pada kenyataan-Nya Allah tidak pernah akan meninggalkan kita. „Perasaan“ ditinggalkan sangat manusiawi, tetapi kehadiran Allah merupakan jaminan yg pasti bagi setiap orang yang menaruh kepercayaannya kepada Yesus Kristus. Amin.


100314_I_Daniel Tanusaputra

GKT News