Popular Posts

Sumber Kemarahan (Kejadian 4:2-8)

Dalam sebuah wawancara, Pdt. Paul Gunadi menyebut ada beberapa stimulant yg membuat orang bisa marah, antara lain:

Pertama:
Ada pengaruh dari faktor biologis atau faktor fisik kita. Ada orang-orang tertentu yang memang mempunyai daya reaksi yang sangat cepat, peka. Orang-orang yang reaktif, yang mudah bereaksi otomatis juga mudah untuk memberikan reaksi emosionalnya termasuk di dalamnya adalah kemarahan.

Jadi tidak mungkin orang yang misalnya mudah bereaksi dengan tangisan menjadi orang yang susah sekali untuk bereaksi dengan kemarahan. Kebanyakan orang yang mudah bereaksi dengan kesedihan, orang yang juga mudah bereaksi dengan kemarahan tapi mungkin sekali kemarahannya itu tidak dia nyatakan secara terbuka. Tapi intinya adalah seseorang yang reaktif akan mudah bereaksi termasuk dalam hal kemarahan pula, itu memang sudah dia bawa sejak dari lahir. Orang-orang yang misalnya kita sebut high strong ini, orang-orang yang mudah marah ini adalah memang secara biologis kelihatannya hangat, jadi temperamen mereka temperamen yang memang sepertinya bergelora. Ada orang yang lebih menyerupai tipe plegmatik yaitu tipe yang memang santai, tidak terlalu terlibat di dalam dunia atau dalam kontak dengan orang lain. Orang yang bertipe plegmatik ini akan lebih mudah menguasai kemarahannya, karena dia memang tidak terlalu terlibat dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Kebalikan dengan orang yang misalnya kolerik atau yang sanguin atau yang melankolik, mereka ini adalah tipe-tipe orang yang tiba-tiba bereaksi, jadi itu adalah faktor yang pertama yang menentukan kita ini menjadi orang yang lebih mudah marah atau lebih sukar marah.

Kedua:
Faktor bentukan lingkungan, jadi kalau kita melihat orang tua kita menyatakan ketidaksetujuannya melalui kemarahan dan kita menyaksikan ini berulang-ulang kali kemungkinan besar metode penyampaian ketidaksetujuan itu yakni dengan kemarahan akan terekam dalam benak kita dan akan menjadi satu dengan sistem kita akhirnya. Karena kita terus-menerus menyaksikan orang tua kita mengumbar kemarahan tatkala mereka tidak setuju dengan apa yang sedang dikerjakan dan akhirnya berbekas pada benak kita. Setelah dewasa, kita cenderung untuk marah sewaktu kita misalnya tidak setuju atau tidak sepakat atau merasa tidak nyaman. Jadi pelajaran yang kita terima melalui pengalaman yang kita lihat itu juga akan mengkondisikan kita menjadi orang yang lebih mudah marah.

Ada satu penelitian yang menggunakan metode peniruan, jadi ada anak-anak yang ditempatkan di satu ruangan dan di dalam ruangan itu si anak bisa melihat seseorang yang sudah dewasa membating-banting mainan.

Si anak melihat terus si orang dewasa membanting-banting mainan, kemudian si orang dewasanya dikeluarkan dari ruangan tersebut dan si anak dibiarkan bersama mainannya. Yang menarik adalah anak-anak itu langsung mengikuti tindakan si orang dewasa itu, membanting-banting mainan, membuang-buangnya persis seperti yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut. Jadi yang terjadi adalah waktu kita bekerja misalkan hidup di sekeliling orang yang mudah marah dan sedikit-sedikit marah, nomor 1 yang kita saksikan itu mempengaruhi sekali cara kita akhirnya bereaksi, jadi tanpa kita sadari cara bereaksi yang mudah marah itu menjadi akhirnya metode kita menyatakan diri. Misalkan kita tidak setuju, kita mau menyatakan pendapat kita dan sebagainya, otomatis yang telah kita rekam itu mempengaruhi sehingga akhirnya yang muncul juga sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yaitu marah. Yang kedua adalah pengaruh kemarahan di sekeliling kita menaikkan suhu atau temperatur emosi kita sendiri. Jadi kita ini adalah orang yang tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan itu, otomatis kalau di lingkungan kita kemarahan yang terus kita temui, tidak bisa tidak, kita seperti juga sedang dimasak di air yang panas. Akhirnya kita turut terpengaruh temperatur emosi sehingga emosi kita juga turut naik. Kebalikannya kalau kita berhadapan atau tinggal bersama orang yang sabar kita melihat cara dia mengatasi konflik dengan sabar, itu bisa mempengaruhi kita akhirnya kita cenderung untuk belajar sabar karena 2 faktor tersebut, yaitu faktor peniruan, imitasi. Kita melihat cara dia mengatasinya seperti ini, seperti itu dan tanpa disadari kita belajar. Dan yang kedua orang yang sabar akan menurunkan suhu, itu sebabnya di Amsal dikatakan, janganlah engkau dekat-dekat dengan orang yang pemarah
Yang lainnya lagi adalah tentang masa kecil kita atau masa lampau kita adalah kalau kita ini menyimpan banyak kepahitan, jadi ada di antara kita yang dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan pertengkaran atau dia adalah korban penganiayaan baik secara emosional maupun secara fisik ataupun seksual dan yang lain-lainnya. Akhirnya si anak ini bertumbuh besar menyimpan banyak dengki, kemarahan yang tersumbat sewaktu dia kecil, dia tidak bisa mengutarakan kemarahannya karena orang tua lebih besar dan lebih pemarah daripada dia, sehingga dia simpan terus kemarahan tersebut. Waktu dia sudah mulai besar, kemarahannya akhirnya mudah meledak sebab hatinya itu sudah tergenangi oleh emosi marah, sehingga apapun yang terjadi yang menyinggung perasaan dia atau membuat dia merasa tidak nyaman reaksinya langsung meledak dan tidak bisa dia kuasai dengan mudah lagi.

Ketiga:
Situasi kehidupan kita sekarang ini, jadi lepas dari yang dulu dan yang hormonal. Yang sekarang ini bisa membuat kita menjadi seorang yang pemarah, contohnya adalah keadaan yang sekarang sedang kita alami yaitu krisis ekonomi, keadaan keluarga, politik, perubahan cuaca.
Di kota Phoenix, Arizona di Amerika Serikat pada waktu musim panas orang-orang di jalanan yang mengemudikan kendaraan lebih sering membunyian klakson. Di Amerika Serikat, pembunuhan paling sering terjadi di musim panas dibandingkan di musim dingin.

Mari kita perhatikan Kain, Kalau dilihat, persoalannya sepele: hanya karena persembahannya tidak diterima Tuhan, sedangkan ia melihat persembahan Habel diterima Tuhan. Tetapi reaksi Kain begitu luar biasa; Kain merusak hidup adiknya bahkan membunuhnya. Padahal Habel tidak membuat Kain rugi, atau sengaja menghina Kain, atau mencoba memprovokasi Kain. Perhatikan ayat 5b “Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.”

So Cain was very angry, and his face was downcast. NIV

This made Cain very angry, and he looked dejected.
Holy Bible, New Living Translation ®, copyright © 1996, 2004 by Tyndale Charitable Trust. Used by permission of Tyndale House Publishers. All rights reserved. Dalam teks Ibrani “kharah” mengartikan hati sangat panas dengan hati yang dipenuhi dengan api kemarahan yang disebabkan oleh rasa cemburu/iri hati. “Mukanya muram”, digambarkan dengan Kain membiarkan hatinya dikuasai rasa cemburu/iri hati sehingga kehilangan damai sejahtera.

Saat rasa cemburu atau iri hati muncul dengan membiarkan hatinya dikuasai olehnya, sehingga kehilangan damai sejahtera sebenarnya ada waktu untuk introspeksi. Terbukti, Tuhan masih sempat mengingatkan Kain pd ayat 6-7. Tetapi Kain memberi dirinya terprovokasi oleh setan. Ayat 7 mengungkapkan, bahwa Kain tidak mau membawa dirinya pada sikap yang benar utk hadapi penolakan persembahannya oelh Tuhan, tetapi ia memberikan hatinya dikuasai oleh setan.

Dan itu terbukti dengan: Kain menolak nasihat TUHAN. Kain mengabaikan suara TUHAN. Dari sini kita bisa melihat, sumber dari segala sesuatu yang jahat termasuk sumber kemarahan manusia adalah ketika ia membiarkan hatinya dikuasai oleh setan. Lalu bagaimana dengan persoalan fisik (hormonal, sakit penyakit), bentukan lingkungan dan situasi sekarang.

Itu semua adalah alat atau pemicu, tetapi bukanlah akar dari kemarahan. Saat kain cemburu atau iri hati adalah sesuatu yang manusiawi, dan semua kita punya rasa itu, tetapi ada yang bisa seperti Kain tetapi ada yang bisa seperti Yohanes, atau Daud, dan itu menunjukkan, bahwa soal kemarahan memiliki sumber atau akar yaitu membiarkan diri dikuasai setan dengan menolak nasihat dan peringatan TUHAN.

Ibrani 12:15
Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.

Kata “menjauhkan diri” dapat diartikan dengan “absolute denial” atau “menolak dengan mutlak”. Artinya apa ?
Orang Kristen akan mengalami kepahitan, jika didalam hatinya ada sikap yang keras menolak terhadap nasehat, teguran, arahan dari Firman Tuhan. Kepahitan itu yang utama bukan disebabkan karena ada orang lain yang membuat kita menderita, rugi, atau sakit hati.

Kepahitan lebih disebabkan karena hati yang keras untuk menolak tunduk pada Firman Tuhan. Bagaimana mengelola provokasi atau pemicu yang sering muncul dihadapan kita, supaya kita bisa tidak menjadi seorang yang pemarah ? Modal utama adalah hati yang tunduk pada Tuhan dengan semua nasehat-Nya. Dalam ilmu komunikasi, ada 3 cara untuk menyampaikan rasa tidak senang atau rasa marah, yaitu:

Agresif:
Menyampaikan rasa tidak senang atau rasa marah dengan mengumbar amarah atau dengan cara memaki-maki.

Pasif-Agresif:
Menyampaikan rasa tidak senang atau marah dengan menggunakan cara yang tidak langsung untuk menekan dia atau menyerang dia.
Dengan sindiran, atau ejekan halus (menyerang tidak langsung).

Assertive:
Assertive dalam bahasa Inggris disebut to assert, to assert itu artiya menyatakan diri atau menyatakan sikap. 'to be assertive' adalah bagaimana kita menyampaikan pikiran atau isi hati kita dengan jelas tapi tidak dengan agresif.

Biasanya kalimat-kalimat yang assertive dimulai dengan aku atau saya disusul dengan perasaan saya, yang ketiga adalah peristiwanya.


2010_260910_Hadi_Sugianto_I

GKT News